Cerita Berlibur San Siro Yang Gersang dan Susah Dicari - RiangRia Blog - Hallo sahabat Visible to Books Library, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Cerita Berlibur San Siro Yang Gersang dan Susah Dicari - RiangRia Blog , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.
Judul : Cerita Berlibur San Siro Yang Gersang dan Susah Dicari - RiangRia Blog
link : Cerita Berlibur San Siro Yang Gersang dan Susah Dicari - RiangRia Blog
Anda sekarang membaca artikel Cerita Berlibur San Siro Yang Gersang dan Susah Dicari - RiangRia Blog dengan alamat link https://riangria-alien.blogspot.com/2007/06/cerita-berlibur-san-siro-yang-gersang.html
Judul : Cerita Berlibur San Siro Yang Gersang dan Susah Dicari - RiangRia Blog
link : Cerita Berlibur San Siro Yang Gersang dan Susah Dicari - RiangRia Blog
Cerita Berlibur San Siro Yang Gersang dan Susah Dicari - RiangRia Blog
Di Milan, kunjungan ke stadion AC Milan dan Inter Milan, Giuseppe Meazza, San Siro (selanjutnya San Siro saja), sayang dilewatkan. Bagaimana pun caranya, pokoknya mesti ke San Siro. Kesasar sekalipun.
"Dari Stasiun Lotto, ke San Siro mesti jalan kaki cukup jauh," Val, teman saya di Italia, mewanti-wanti. Dia enggak bisa mengantar karena enggak bisa meninggalkan pekerjaannya. Jadi didroplah saya di Stasiun FS Centrale dengan selembar tiket metro pemberiannya di tangan, tapi cuma yang berlaku 1 jam! Dalam hati saya memaki-maki. Memang dia pikir saya cuma mau keliling Milan 1 jam? Huh. Dengan masih kesal saya mengantre di loket, buat membeli tiket 24 jam yang harganya berapa yah, 3 atau 4 euro-an. Untung saya masih ingat bahasa Italia 24 jam. Dan untung juga Val bermurah hati membelikan saya tiket kereta Eurostar Milan-Roma. Lumayan mengirit 50 euro. Dia masih mengira saya berangkat jam 8 malam dari Milan, seperti pesan saya. Tapi setelah melihat bakal sampai jam berapa saya di Roma, yang tertera di tiket, saya berpikir ulang. Memang si Widya mau jemput saya di Stasiun Termini Roma persis tengah malam? Yang benar saja. Maka, tanpa sepengetahuan Val yang sudah meninggalkan saya, dengan bahasa tarzan saya berhasil menukar jam keberangkatan, dari jam 8 malam ke jam 4 sore.
Yang tak kalah kacau, Val tak tahu apakah ada tempat penitipan barang di FS Centrale. Sudah begitu saya tak bisa menitipkan barang di kantornya - yang akhirnya ada hikmahnya, soalnya saya enggak perlu nungguin dia pulang kerja jam 7 malam. Habis menukar tiket, dengan petunjuk seorang petugas pemberi informasi - yang hebatnya ada di setiap sudut stasiun dan bisa berbahasa Inggris! -,saya mendaki belasan anak tangga menuju ke lantai 2. Hmmm, sebetulnya stasiun ini lumayan antik dengan kubah besarnya, tapi saya enggak punya waktu buat mengagumi lantaran keberatan bawaan dan kebelet pipis, hehehe. Jadi selesai menitipkan travel bag - biayanya lumayan tinggi, buat 8 jam saya mesti bayar 10 euro - saya langsung melesat ke toilet. Sebenarnya cara membayar toilet sih sama dengan umumnya toilet di negara Eropa lain: Cemplungkan koin euro ke lubang di palang pintu. Tapi bedanya, di FS Centrale kita masukkan koin itu sehabis menggunakan jasa toilet, bukan sebelumnya saat masuk. Jadi kalau enggak bayar, enggak bisa keluar!
Jadi, selesai problem saya di Milan? Belum. Saya kebingungan baca peta metro Milan. Ada kali hampir 1 jam saya tercenung di depannya. Padahal peta metro Milan tak seberapa rumit dibandingkan peta metro Paris. Cuma ada 3 jalur - Paris punya belasan. Tapi lantaran di Paris ke mana-mana tinggal membuntuti Sandy, saya enggak terbiasa "bergaul" dengan peta metro. Setelah memeras otak, baru saya menemukan cara mencapai Lotto, juga Duomo, tujuan pertama saya. Karena saya naik metro Milan jam 8 pagi, alhasil di metro saya melihat pemandangan menarik: cowok-cowok Italia yang lucu-lucu terbalut jas mahal. Wuhuuuu... lumayan penyegaran sebelum memulai perjalanan panjang.
Di Duomo, ternyata nyaris enggak ada apa-apa. Yang saya sukai hanya kerumunan merpati yang memadati piazza atau alun-alunnya. Katedralnya yang terkenal itu sedang direnovasi. Jadi saya di situ cuma meluruskan kaki saja. Habis istirahat sejenak, saya dengan antusias lanjut naik metro ke Stasiun Lotto. San Siro, I'm coming! Eh, tapi Lotto punya 4 pintu keluar. Yang mana ke arah San Siro? Ya sudah saya putari semua pintu, tapi tak ada tanda-tanda San Siro. Baru sesudah menyeberang, jalan sedikit, ada deh papan besar bertuliskan "SAN SIRO", tanpa panah. Praktis saya pikir San Siro adanya tak jauh-jauh dari papan itu dong. Menyeberangi 2 lampu merah, saya melewati papan itu dan menyusuri area apartemen. Sekitar 15 menit berjalan, kok sepertinya jalan itu tak berujung, ya? Yang kelihatan malah stadion berkuda. Apa iya San Siro di sekitar situ? Saya balik lagi ke arah papan San Siro tadi, yang tentunya menghabiskan 15 menit lagi, dengan terengah-engah. Maklum belum sarapan dan semalam cuma ngemil keripik kentang di Eurolines.
Satu jam sudah saya mencari San Siro, hasilnya nihil. Sementara waktu terus bergerak. Sudah jam 10.30 waktu Milan. Cuma tersisa 5,5 jam waktu saya di Milan. Tanya-tanya pada sejumlah orang, cuma 1 yang bisa berbahasa Inggris. Itu pun sedikit sekali. Dengan bahasa Inggris campur Italia (Italia campur Inggris sebetulnya), perempuan itu memberitahukan dengan ramah, saya mestinya belok kanan dan melalui 5 semafori atau lampu merah. Saya pun mengikuti penjelasannya dengan patuh. Di Eropa, antara 1 lampu merah dan yang lainnya dekat, tidak sejauh di sini, jadi saya santai saja. Tapi lewat 5 lampu merah, kok San Sironya belum kelihatan? Aduh, sebetulnya San Siro itu ada enggak, sih? Yah, pada akhirnya, saya menemukan juga yang dimaksud San Siro itu. Ternyata, bagian luar stadion tidak semegah dalamnya, seperti yang kita lihat di layar kaca kalau AC Milan atau Inter Milan bertanding. Stadionnya bertembok kelabu, dengan sekeliling gersang. Pepohonan tumbuh agak jauh. Tanda-tanda kehidupan paling dekat dengan stadion cuma perhentian trem. Itu pun, sejauh penglihatan saya, tak ada penumpang menanti trem lewat. Jadi, saya enggak tahu apakah stasiun trem itu berfungsi atau tidak.
Sampai di San Siro, saya belum boleh merasa lega. Yang mana pintu masuknya? Ada lebih dari 20 gerbang bernomor. Melihat ada petugas berjaga di pintu nomor 6, yang mengharuskan saya menyusuri stadion hingga ke belakang, saya pikir dari situlah saya bisa masuk. Tapi saya terkecoh, begitu pula sejumlah turis Jerman. Masuknya ternyata melalui pintu 21 yang letaknya di depan! Ya ampun. Balik lagi dong. Bagaimana saya terpikir ke arah situ, wong enggak ada penjaganya. Agak tersembunyi di balik pintu 21, berdirilah Museum San Siro. Di situ saya mendaftar ikut tur keliling San Siro, dengan membayar 12,5 euro. (Di Milan apa-apa mahal yah. Bandingkan dengan 5 euro saja di Olympiastadion, bekas stadionnya Bayern Munich.) Saya malas lama-lama di museum, soalnya menurut saya sih kurang menarik. Komplet sih, dengan penghargaan, foto bertanda tangan pemain, plakat, dan artikel-artikel penting menyangkut dua tim yang berkandang di situ terpajang. Sisi kiri untuk Inter Milan, sisi kanan untuk AC Milan. Tapi buat museum dua klub besar, ruangan itu terlalu sempit dengan pencahayaan yang kurang memadai. Apalagi pemain bola favorit saya, Marc Overmars dan Claudio Lopez, enggak pernah main di Milan. Jadi, ya memang enggak ada yang menahan saya buat berlama-lama.
Jadi, menunggu waktu tur tiba, saya melihat-lihat suvenir di toko suvenir resmi yang hampir bersebelahan dengan museum. Berhubung anggaran saya terbatas (lagian diperas 20 euro lebih buat tur dan nitip tas, hiks), saya bertanya-tanya dulu dong soal harga suvenir yang saya ingin beli. Salah satu penjaga tokonya, yang mengira saya tak paham bahasa Italia sama sekali (ya dikit-dikit masih bisalah), ngedumel, "Kenapa sih mereka (para turis) mesti bertanya dulu soal harga?" Ia menyinggung saya dan juga beberapa turis Jepang di dalam toko. Berhubung saya capek, enggak saya debat. Tapi besok-besok, awas (doh, memang siapa yang mau balik ke Milan?)!
Tur di San Siro berlangsung setengah jam. Pemandunya, seorang perempuan, sangat ramah dan fasih berbahasa Inggris. Dia membimbing saya dan sekitar 20-an turis dari berbagai latar belakang (yang pasti ada Jerman dan Jepang) untuk melihat lapangan dari berbagai sudut bangku penonton. Kami juga boleh mencoba duduk di bangku VIP yang berwarna putih, yang menurut sang pemandu biasanya sudah dipesan habis sponsor buat tamu-tamu mereka. Lalu kami dibawa ke ruang ganti pemain. Sang pemandu menunjukkan kamar ganti tim AC Milan dan Inter Milan yang dipisah. Kalau AC Milan tidak bertanding derby, kamar ganti Inter Milan diisi tim away, begitu pula sebaliknya. Selain sejumlah shower, kamar ganti itu juga diisi tempat pemijatan. Fasilitas yang biasa saja, tidak ada istimewanya. Mungkin karena para pemain juga segan berlama-lama di situ. Sama dong.
Sepanjang tur, saya dan 2 turis Jepang bergantian minta difoto. Kayaknya turis Asia Timur sangat tertarik sama Milan. Selain turis-turis Jepang di San Siro, saya juga ketemu beberapa turis China di Duomo. Mungkin mereka mengincar acara belanja di butik-butik ternama kali, ya. Kalau buat saya sih, tidak banyak yang bisa dinikmati di kota mode sekaligus industri ini. Tapi ya, kalau ada waktu, San Siro tetap patut kok dikunjungi. Terutama buat penggila bola, wajib hukumnya.
Untung Val punya ide menjemput saya dan mengajak saya makan siang usai tur jam 12.30. Kalau neggak, bisa-bisa saya pingsan! Kelaparan berat soalnya.
Demikianlah Artikel Cerita Berlibur San Siro Yang Gersang dan Susah Dicari - RiangRia Blog
Sekianlah artikel Cerita Berlibur San Siro Yang Gersang dan Susah Dicari - RiangRia Blog kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel Cerita Berlibur San Siro Yang Gersang dan Susah Dicari - RiangRia Blog dengan alamat link https://riangria-alien.blogspot.com/2007/06/cerita-berlibur-san-siro-yang-gersang.html
Komentar
Posting Komentar