Cerita Berlibur Kisah-kasih dengan Bandara - RiangRia Blog

Cerita Berlibur Kisah-kasih dengan Bandara - RiangRia Blog - Hallo sahabat Visible to Books Library, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Cerita Berlibur Kisah-kasih dengan Bandara - RiangRia Blog , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Cerita Berlibur Kisah-kasih dengan Bandara - RiangRia Blog
link : Cerita Berlibur Kisah-kasih dengan Bandara - RiangRia Blog

Baca juga


Cerita Berlibur Kisah-kasih dengan Bandara - RiangRia Blog

Di bagian lain blog ini, saya pernah mengisahkan ribetnya berurusan dengan imigrasi Eropa. Ya, maklumlah, ya di formulir permohonan visa Schengen saja terteralah Indonesia sebagai salah satu negara yang diwaspadai, bersama dengan beberapa negara teluk. (Halah, padahal negara-negara teluk kaya-raya lho.) Jadi saya menghindari berurusan dengan bandara di Eropa kecuali PP Jakarta-(salah satu kota) Eropa. Ya iyalaaah... masa saya mesti berenang ke sana. 
Akan tetapi yang aneh-aneh bukan hanya ada di bandara Eropa saja. Di tempat lain termasuk di Jakarta juga aneh-aneh, kok. Berikut kisah-kasih saya dengan bandara.

Jakarta, April 2008
Saya dan dua rekan sekantor hendak meliput wisata Yogyakarta. Kantor memesankan tiket maskapai berinisial L untuk kami. Atas nama pengiritan, kami enggak boleh pesan maskapai domestik paling tepercaya, G. Sudah begitu pake acara digosipin di kantor: "Si Ika masa minta terbang pake G!" Yah dia orang belon tau, maskapai G mah biasa saja buat saya, favorit saya mah Qatar Airways chihihi.... Situ belum pernah merasakan naik QR, kan? (Sombong, padahal juga belum pernah naik SQ mhihihi.)
Dan berangkatlah kami menuju Soetta untuk penerbangan L pagi. Berhubung maskapai L ini suka delay, kami sudah siap jiwa dan raga kalau nanti terjadi delay. Tapi yang kami tidak siapkan secara jiwa dan raga - dan juga kami tidak ketahui - maskapai L ini punya saudara. Dan saudaranya itulah yang menerbangkan kami ke Yogyakarta pagi itu, bukan L sebagaimana tertera dan dijanjikan dalam tiket - yakni W! Oh, well.... Dari penampakan, L saja tidak meyakinkan, apalagi si W, huhuhu. Tapi berhubung kami orangnya pasrahan, ya sudah, naiklah kami ke kabin W. Setelah beberapa saat, mulailah si W take off. Sepanjang perjalanan, saya dan teman sebangku, Abeba, cuma bisa cengar-cengir. Soalnya si W ini pakai acara bunyi geradak-geruduk sepanjang jalan, yah ibarat pesawat kelas bajaj gitu dah. Lalu bertanyalah seorang bapak yang duduk di depan kami kepada seorang pramugari, apakah dia sering bertugas di W. Yang dijawab si pramugari dengan jutek. Yah sepertinya dia saja enggak rela bertugas untuk W, apalagi kami yang pegang tiket L tapi disuruh naik W, weee....

Jakarta, April 2009
Saya diundang Tourism Authority of Thailand (TAT) yang berkantor di Indonesia untuk meliput wisata Bangkok dan Pattaya. Nah, baru saja tiba di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, saya diadang petugas imigrasi.
Petugas (setelah beberapa kali mencoba scan paspor saya): Bu, tolong sampul paspornya dibuka.
Saya: (Mencoba membuka sampul dengan hati-hati. Karena, sampul paspor itu asalnya resmi dari Imigrasi Jakarta Selatan, berwarna hijau tua dan bergambar garuda.)
Petugas (membentak dengan jengkel): Buka saja susah banget, sih! Makanya paspor jangan pakai disampul-sampul segala!
Dia lantas merebut paspor dari tangan saya dan menyobek sampulnya dengan kasar.
Saya (membentak balik): Heh, Pak, rajin banget saya sampulin paspor! Itu sampulnya dari Imigrasi!
Petugas: (Mencoba scan kembali paspor saya tapi tetap tidak puas).
Nah, saat itulah seorang rekan saya, Fani, memandangi layar komputer si petugas. Dia melihat, di layar komputer nama saya tertera dengan warna merah. Dia mencolek saya, "Mungkin nama Mbak sama dengan entah siapa yang dicekal."
Si petugas lantas pindah ke kubikel imigrasi di sebelah kirinya, mencoba scan paspor saya melalui komputer rekannya. Eh, ternyata tak ada warna merah menodai nama saya. "Enggak ada apa-apa, kok," komentar rekannya. Dia pun terpaksa mengembalikan paspor saya yang sudah tidak bersampul lagi. Saya pun berlalu bersama Fani, karena sudah ditunggu staf TAT yang akan mendampingi kami selama di Thailand, Mas Indra. Dan baru hari ini saya berpikir-pikir kenapa si petugas imigrasi sebegitu galaknya. Apa karena nama saya mengandung kata "Nur", terus disangka Nunun Nurbaeti atau Wa Ode Nurhayati, ya? Hedeh.
Sekembali dari Thailand 5 hari kemudian, saya mengantre di gerbang kedatangan Bandara Soekarno-Hatta. Eh, rupanya petugas yang melayani saya adalah petugas yang juga menonton kejadian konyol di atas. Dia nyengir membaca paspor saya. "Oh, Mbak yang waktu itu mau dicekal, ya? Hehehe," celotehnya.

Doha, Juni 2010
Yang saya lakukan sangat tidak disarankan. Alkisah mungkin karena terkagum-kagum dengan interior Qatar Airways yang beda banget dengan kali pertama saya tumpangi 4 tahun sebelumnya - yang lebih luas dan jauh lebih nyaman - dalam perjalanan Jakarta-Doha saya hanya bisa tidur 2 jam. Alhasil begitu transit di Doha, saya terkantuk-kantuk. Berhubung masih sekitar 2 jam lebih sedikit lagi pesawat saya ke Munich, Jerman, akan berangkat, saya memutuskan tidur di kursi bandara.
Dengan santai saya menaruh travel bag di lantai untuk menyelonjorkan kaki - tanpa kepikiran akan ada yang mengambilnya - dan merebahkan kepala di kursi tunggu bandara. Saya pikir, tidur di bandara yang suasananya begitu meriah, pasti enggak akan nyenyak-nyenyak banget. Paling lama 1 jamlah mata saya terpejam. Dan yang terjadi, total 2 jam saya tertidur lelap! Begitu membuka mata, saya syok. Soalnya antrean penumpang menuju Munich sudah terbentuk panjang. Duh, untung enggak sampai ketinggalan pesawat. 

Incheon, Oktober 2011
Nah, dalam kisah yang satu ini, yang apes rekan saya. Saat itu saya dan 3 wartawan dari media berbeda diterbangkan ke Korea Selatan untuk liputan wisata di 4 kota. Nah, di loket imigrasi Bandara Incheon - bandara internasional Korsel, saya dan 2 rekan lain berurusan dengan petugasnya tak sampai 5 menit. Kami bertiga lantas heran, ke mana rekan satunya, si Baidowi? Terakhir kami melihatnya mengantre di imigrasi, dia berada di belakang saya.
Bandara Incheon tampak luar. Eh enggak penting, sih ya, hihihi.

Apa mungkin dia tidak melihat kami dan menunggu kami di lokasi pengambilan bagasi? Begitu bertemu pemandu wisata kami di luar bandara, baru kebingungan kami terjawab. Rupanya dia tersangkut di imigrasi, entah karena apa. Kami menduga-duga karena namanya. Setelah menunggu 1 jam, tampaklah sosok Bai, mengarah ke rombongan kami sembari diantar seorang petugas bandara berjas hitam. Seperti dugaan kami, Bai ditahan karena masalah nama. Ya, tahu sendirilah, ya, kadang-kadang ini terjadi di bandara luar. (Itu sebabnya saya masih ogah disuruh pergi ke negara satu itu tahun depan, sesuai jadwal wisuda adik saya.)
Eh, ternyata bukan karena masalah nama saja. Jadi melebar urusannya karena dia tertahan bersama segerombolan cewek Thailand yang dicurigai PSK. Sebagai satu-satunya laki-laki yang diinterogasi, dia sempat disangka sang germo, whahaha. Dia berusaha membuktikan, dia berada di Korea atas undangan, tapi undangannya tersimpan dalam kopernya yang masih teronggok di lokasi pengambilan bagasi. Untungnya, BB dalam genggaman sukses memperlihatkan undangannya dalam bentuk surat elektronik, berikut nomor telepon pemandu kami.
Sudah beres masalahnya? Belum. Soalnya foto diri Bai yang terdata di Imigrasi Korsel kurang jelas menampilkan wajahnya. Tapi pada akhirnya beres juga, mungkin karena pemandu kami melalui telepon memastikan kebenaran kata-katanya. Tetap saja, mana ada pengalaman diinterogasi yang enak.

Jakarta, November 2011
Nah, ini ulah adik saya. Alkisah 9 bulan sebelumnya, tertarik penawaran tiket murah, dia merancang liburan sekeluarga pada November. Nah, yang memesankan tiket via internet adalah istrinya, Erni. Erni menanyakan nama lengkap seluruh anggota keluarga, termasuk saya. Adik saya mungkin maksudnya mencandai istrinya, dengan sengaja menyebut nama belakang saya mirip nama seorang pedangdut. Tapi Erni enggak ngeh dan menganggapnya serius. 
Tibalah saatnya berlibur ke Bali pada November 2011. Petugas maskapai low budget itu tidak hanya mengecek tiket kami, tapi juga menyamakan data tiket dan KTP. Erni lantas mengumpulkan semua tiket dan KTP. Dan dia terkejut melihat nama saya di tiket dan KTP beda. Saya lebih terkejut lagi, kok bisa? Dia dan adik saya saling menyalahkan. Lha memang nama macam apa, sih yang tercantum di tiket saya? Hasilnya bukannya marah, saya malah tertawa geli. Sebab nama yang diributkan itu adalah "Ika Nurjanah"! Bhahaha... untungnya si petugas maskapai bisa memahami kekeliruan ini dan meloloskan saya untuk terbang.


Jeddah, April 2012
Saat kontrol bagasi - setelah melalui kontrol imigrasi dengan mahram ayah Wanda - tiba-tiba seorang portir bandara memindahkan koper saya dan dua rekan perjalanan umrah begitu saja ke sebuah troli. "Sama-sama, Indonesia, sama-sama," begitu kata si portir berkebangsaan Arab itu dalam bahasa Indonesia. (Sotoy. Siapa tahu berkebangsaan Qatar atau Oman wekekek.) Saya mulanya hanya bingung, berapa riyal yang harus saya rogoh untuk membayar jasa angkutnya. Tapi kebingungan itu berubah menjadi kekesalan ketika dia melarikan koper kami dengan kecepatan tinggi ke arah tumpukan koper rombongan umrah lain di luar bandara.
Karena saya juga bertanggung jawab atas rombongan umrah ini - kalau pas kebetulan inget hihihi - saya mengejarnya ke luar sambil berteriak-teriak dalam bahasa Inggris. Saya dicegat petugas yang meminta saya menunjukkan paspor. Untungnya petugas itu bisa mengerti, paspor saya dipegang tour leader. Saya berlari ke arah tumpukan koper dan berusaha menarik troli dari tangan si portir. Dia bersikeras mempertahankan troli itu dan menolak mendengarkan penjelasan saya - atau tidak mengerti, kali, ya. Alhasil saya sempat frustrasi, mana anggota rombongan lain berkumpul jauh dari posisi saya sehingga saya kepayahan memanggil mereka. Untungnya, kakak Wanda sempat menyaksikan adegan tidak penting ini, sehingga dia menghampiri dan memaksa menarik troli dari tangan si portir seraya berkata, "La, la." Alias "tidak" dalam bahasa Arab. Hadeh, mau beribadah, baru mendarat ada masalah. Alhamdulillah, setelahnya segalanya indah. (Really? Demi kemaslahatan umat, really :p.)


Demikianlah Artikel Cerita Berlibur Kisah-kasih dengan Bandara - RiangRia Blog

Sekianlah artikel Cerita Berlibur Kisah-kasih dengan Bandara - RiangRia Blog kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel Cerita Berlibur Kisah-kasih dengan Bandara - RiangRia Blog dengan alamat link http://riangria-alien.blogspot.com/2012/07/cerita-berlibur-kisah-kasih-dengan.html

Komentar